Bendera One Piece di Indonesia: Analisis Lengkap Simbol Protes, Kontroversi Hukum, dan Gema Perlawanan Global


Bagian I: Pelayaran Baru Jolly Roger: Membedah Simbol Protes

Sebuah fenomena unik tengah berlayar di lanskap sosial-politik Indonesia. Menjelang perayaan Hari Kemerdekaan ke-80, bendera Merah Putih tidak berkibar sendirian. Di berbagai sudut negeri, dari rumah-rumah warga, kendaraan, hingga tiang-tiang bendera umum, sebuah simbol lain turut dikibarkan: Jolly Roger milik Bajak Laut Topi Jerami dari serial anime dan manga populer, One Piece.1 Fenomena ini, yang menyebar secara organik melalui media sosial, telah menarik perhatian nasional dan bahkan sorotan media internasional, mengubah simbol fiksi menjadi pernyataan politik yang nyata.3

Fenomena: Lautan Tengkorak dan Topi Jerami di Nusantara

Pengibaran bendera hitam bergambar tengkorak tersenyum yang mengenakan topi jerami ini bukanlah gerakan yang dimobilisasi secara terpusat. Sebaliknya, ia muncul sebagai ekspresi kolektif dan spontan dari warganet dan masyarakat.5 Gambar dan video yang beredar menunjukkan bendera ini dikibarkan berdampingan, dan terkadang, sebagai pengganti bendera nasional, memicu perdebatan sengit tentang nasionalisme, kebebasan berekspresi, dan kondisi bangsa saat ini.6

Ini bukan kali pertama citra One Piece muncul dalam konteks protes di Indonesia. Sebelumnya, poster dan atribut dari serial ini pernah terlihat dalam demonstrasi mahasiswa yang menolak rancangan undang-undang kontroversial seperti RKUHP.7 Kemunculan kembali simbol ini dalam skala yang jauh lebih masif menunjukkan adanya resonansi yang mendalam antara narasi fiksi

One Piece dengan sentimen yang dirasakan sebagian masyarakat Indonesia.

Cetak Biru Fiksi: Mengapa Bendera Topi Jerami Begitu Mengena

Untuk memahami mengapa bendera ini dipilih, kita harus menyelami inti cerita One Piece. Serial ini mengisahkan petualangan Monkey D. Luffy dan krunya, Bajak Laut Topi Jerami, dalam mencari harta karun legendaris “One Piece”, yang melambangkan kebebasan tertinggi.9 Musuh utama mereka bukanlah bajak laut lain, melainkan “Pemerintah Dunia” (World Government)—sebuah otoritas global yang digambarkan korup, opresif, dan oligarkis.10

Dalam narasi ini, Luffy dan kawan-kawannya bukanlah perompak jahat yang menjarah. Mereka sering kali berperan sebagai pembebas yang berjuang untuk rakyat tertindas melawan tirani Pemerintah Dunia.1 Oleh karena itu, Jolly Roger mereka—tengkorak tersenyum dengan topi jerami—bukan sekadar simbol bajak laut. Ia adalah lambang perlawanan terhadap ketidakadilan, janji pembebasan, kesetiaan, persahabatan, dan pengejaran mimpi yang tak tergoyahkan dalam menghadapi sistem yang menindas.9 Makna inilah yang diadopsi oleh para pengunjuk rasa di dunia nyata.13

Dari Fiksi ke Realita: Menerjemahkan Keluhan Menjadi Simbol

Koneksi antara narasi fiksi dan keluhan nyata di Indonesia menjadi sangat jelas. Para warganet dan pengibar bendera secara eksplisit menyatakan bahwa mereka menggunakan simbol ini untuk menyuarakan ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah, ketidakadilan yang dirasakan, dan korupsi.10 Di forum-forum diskusi seperti Reddit, keluhan spesifik muncul, seperti kenaikan pajak yang menekan kelas menengah, proyek infrastruktur yang dianggap boros, dan kabinet pemerintahan yang membengkak karena janji politik.10

Penggunaan simbol budaya pop sebagai kritik bukanlah hal baru. Istilah sindiran seperti “Konoha” atau “Wakanda” telah lama digunakan untuk merujuk Indonesia sebagai cara mengekspresikan rasa malu terhadap kondisi negara.10 Bendera

One Piece adalah evolusi berikutnya dari tren ini, sebuah “protes cerdas” (smart protest) yang memanfaatkan simbol non-kekerasan namun sangat kuat.16

Pemilihan simbol ini menunjukkan kecerdasan strategis yang luar biasa. Bendera Topi Jerami memiliki ambiguitas yang memberinya kekuatan. Bagi pejabat atau orang awam, itu hanyalah “bendera bajak laut” dari kartun. Bagi penggemar, itu bisa berarti kecintaan pada anime. Namun bagi pengunjuk rasa, itu adalah simbol perlawanan yang kompleks. Ambiguitas ini menciptakan semacam “plausible deniability” atau penyangkalan yang masuk akal. Ketika ditanya, pengibar bendera dapat mundur ke interpretasi paling jinak (“saya hanya suka kartun ini”), membuatnya sulit bagi pihak berwenang untuk menindak tanpa terlihat otoriter karena menargetkan penggemar anime.10 Langkah ini memaksa pemerintah untuk menafsirkan simbol tersebut, dan dalam prosesnya, mereka justru mengungkapkan watak mereka sendiri. Ketika seorang pejabat menyebut bendera kartun sebagai tindakan “makar” 17, mereka secara tidak langsung memvalidasi narasi pengunjuk rasa tentang hidup di bawah rezim yang represif dan paranoid.

Bagian II: Bangsa yang Terbelah: Respons Pemerintah dan Kekisruhan Hukum

Fenomena bendera One Piece telah membelah respons pemerintah secara tajam, memperlihatkan spektrum pandangan yang berkisar dari ancaman hukum yang keras hingga penerimaan sebagai bagian dari dinamika demokrasi. Perbedaan sikap ini menciptakan kebingungan publik dan memicu perdebatan hukum yang mendalam.

Sikap Keras: Tuduhan Makar dan Ancaman Pelarangan

Sebagian pejabat pemerintah dan politisi merespons dengan nada yang sangat keras. Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menyebut tren ini sebagai “gerakan sistematis” yang bertujuan merusak persatuan bangsa.2 Anggota Komisi IV DPR, Firman Soebagyo, melangkah lebih jauh dengan melabelinya sebagai “provokasi” yang bahkan bisa menjadi bagian dari “makar”, dan menyerukan agar polisi menginterogasi para pengibar bendera.17

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Budi Gunawan, memperingatkan adanya konsekuensi hukum jika pengibaran bendera tersebut dianggap tidak menghormati martabat bendera Merah Putih, dan menggambarkannya sebagai potensi ancaman.18 Pernyataan paling ekstrem datang dari Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, yang menegaskan bahwa pemerintah “berhak” melarang bendera tersebut, dengan klaim bahwa pengibarannya bisa merupakan pelanggaran hukum dan bahkan “subversi”. Secara kontroversial, ia berargumen bahwa larangan ini sejalan dengan hukum internasional, seperti Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), untuk melindungi integritas nasional.19

Sikap Moderat: Mengakui Ekspresi Demokrasi

Pandangan keras tersebut sangat kontras dengan sikap pejabat lain yang lebih moderat. Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, secara eksplisit menyatakan bahwa pemerintah tidak melarang tren tersebut. Ia menyebutnya sebagai “fenomena yang wajar dalam demokrasi” dan cara masyarakat untuk “menyampaikan harapan mereka”.3 Ia membandingkannya dengan bendera organisasi lain yang diizinkan selama tidak mewakili ideologi terlarang.21

Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar Baharuddin, juga mengonfirmasi bahwa tindakan tersebut “tidak ilegal”, meskipun ia mengimbau masyarakat untuk tetap memprioritaskan bendera Merah Putih sebagai pemersatu bangsa.22 Bahkan, Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka—yang ironisnya pernah menggunakan simbol

One Piece dalam kampanyenya—mengizinkan pengibaran bendera tersebut, menyebutnya “keren” dan menyatakan tidak akan melarangnya.5

Analisis Hukum: Apakah Mengibarkan Jolly Roger Merupakan Kejahatan?

Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang respons pemerintah yang terpecah, tabel berikut merangkum posisi berbagai pejabat:

Tabel 1: Sikap Pejabat Indonesia terhadap Fenomena Bendera One Piece

Pejabat & JabatanSikapRingkasan Posisi & Kutipan KunciDasar Hukum yang Dikutip
Firman Soebagyo (Anggota DPR)Keras“Provokasi,” “bisa jadi bagian dari makar,” menuntut interogasi polisi.KUHP (Makar)
Sufmi Dasco Ahmad (Wakil Ketua DPR)Keras“Gerakan sistematis untuk merusak persatuan bangsa.”Persatuan Nasional
Budi Gunawan (Menko Polhukam)Keras“Potensi ancaman,” bisa ada konsekuensi hukum jika tidak menghormati Merah Putih.UU No. 24/2009
Natalius Pigai (Menteri HAM)Keras“Berhak melarang,” “bisa menjadi subversi,” sejalan dengan hukum internasional.UU No. 12/2005 (ICCPR)
Bima Arya Sugiarto (Wamendagri)Moderat“Tidak dilarang,” “fenomena wajar dalam demokrasi,” diterima sebagai masukan.Kebebasan Berekspresi
Bahtiar Baharuddin (Dirjen Kemendagri)Moderat“Tidak ilegal,” namun mengimbau untuk memprioritaskan Merah Putih.Tidak ada larangan eksplisit
Gibran Rakabuming Raka (Wali Kota Solo)Moderat“Nggak melarang, keren.”Ekspresi Budaya Pop

Dari sisi hukum, argumen untuk melarang bendera One Piece terbukti lemah. Undang-undang utama yang dikutip, UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, pada dasarnya mengatur perlakuan yang pantas terhadap bendera nasional.2 Pasal 24, misalnya, melarang pengibaran bendera lain

di atas Merah Putih atau merusak bendera nasional.18 Undang-undang ini tidak secara eksplisit melarang pengibaran bendera fiksi, organisasi, atau budaya di properti pribadi.

Klaim makar (treason) di bawah KUHP bahkan lebih sulit untuk dibuktikan. Pakar hukum dan lembaga masyarakat sipil seperti YLBHI menganggap tuduhan ini berlebihan (“lebay”), karena makar memiliki standar pembuktian yang sangat tinggi, yaitu niat untuk menggulingkan pemerintah yang sah dengan kekerasan.23 Seorang pakar hukum tata negara dari UNS Solo menegaskan bahwa bendera tersebut sama seperti bendera lainnya, kecuali Merah Putih yang merupakan lambang negara.25

Justifikasi Menteri Pigai yang menggunakan ICCPR juga merupakan penafsiran yang berlebihan. Meskipun ICCPR mengizinkan pembatasan kebebasan berekspresi untuk keamanan nasional, pembatasan tersebut harus proporsional dan benar-benar diperlukan. Melarang simbol budaya pop yang digunakan dalam protes damai kemungkinan besar akan dilihat oleh komunitas internasional sebagai pelanggaran kebebasan berekspresi yang tidak proporsional, bukan sebagai tindakan untuk menjaga stabilitas nasional.19

Respons pemerintah yang terpecah dan ancaman dari kelompok garis keras secara tidak sengaja menciptakan Efek Streisand. Awalnya, tren ini mungkin hanya sebuah protes di kalangan terbatas. Namun, ketika pejabat tinggi mengutuknya sebagai “makar” dan “ancaman bagi bangsa”, isu ini meledak menjadi kontroversi nasional.2 Perhatian media yang masif ini justru memperkenalkan simbol dan maknanya kepada audiens yang jauh lebih luas. Ironisnya, reaksi berlebihan pemerintah—mengancam tindakan hukum atas bendera kartun—membuat mereka terlihat persis seperti “Pemerintah Dunia” yang opresif dan antikritik dalam anime. Tindakan penekanan ini justru membuktikan poin para pengunjuk rasa dan membuat simbol tersebut menjadi lebih kuat dan menarik, memicu lebih banyak orang untuk ikut serta.10

Bagian III: Skenario Global: Budaya Pop sebagai Bahasa Modern Perlawanan

Fenomena bendera One Piece di Indonesia bukanlah sebuah anomali. Ia adalah bagian dari tren global yang lebih besar di mana simbol-simbol dari budaya pop diadopsi sebagai bahasa perlawanan politik. Kontekstualisasi ini menunjukkan bahwa apa yang terjadi di Indonesia bukanlah tindakan iseng, melainkan bentuk aktivisme modern yang canggih dan memiliki preseden di seluruh dunia.

Tabel 2: Leksikon Global Simbol Protes dari Budaya Pop

SimbolAsal FiksiMakna Fiksi IntiContoh Protes Dunia Nyata
Bendera Topi JeramiOne PiecePerlawanan terhadap Pemerintah Dunia yang korup, kebebasan, persahabatan.Indonesia (2025)
Topeng Guy FawkesV for VendettaPerlawanan anarkis terhadap rezim fasis dan totaliter.Occupy Wall Street, Musim Semi Arab, Anonymous
Salam Tiga JariThe Hunger GamesPemberontakan diam-diam terhadap negara totaliter yang opresif.Thailand (pro-demokrasi), Myanmar, Hong Kong

Lebih dari Sekadar Permainan: Leksikon Global Protes Simbolis

Budaya pop menyediakan kosakata yang siap pakai, sarat emosi, dan dipahami secara global untuk gerakan protes.26 Simbol-simbol ini efektif karena mampu menyederhanakan keluhan politik yang kompleks menjadi satu citra yang kuat dan mudah disebarkan, seperti yang terlihat pada penggunaan musik Iwan Fals di era Orde Baru atau simbol empat jari dalam pemilu Indonesia 2024.28

Studi Kasus 1: Topeng Guy Fawkes (V for Vendetta)

Berasal dari novel grafis dan film V for Vendetta, di mana seorang pahlawan anarkis bertopeng melawan rezim fasis di Inggris masa depan, topeng Guy Fawkes menjadi ikon global.30 Topeng ini diadopsi secara masif oleh kelompok peretas aktivis (hacktivist) Anonymous dan menjadi pemandangan umum selama gerakan Occupy Wall Street serta Musim Semi Arab.32 Kekuatannya terletak pada kemampuannya untuk memberikan anonimitas, melambangkan semangat anti-otoritarianisme, dan menciptakan identitas kolektif di antara para pengunjuk rasa. Begitu kuatnya simbol ini, beberapa negara seperti Bahrain dan Uni Emirat Arab bahkan melarang impor dan penggunaannya.30

Studi Kasus 2: Salam Tiga Jari (The Hunger Games)

Simbol ini berasal dari seri buku dan film The Hunger Games sebagai tanda penghormatan, duka, dan akhirnya, pemberontakan diam-diam terhadap rezim totaliter Capitol.34 Di dunia nyata, salam ini diadopsi sebagai simbol pro-demokrasi di Thailand setelah kudeta militer 2014, yang kemudian membuatnya dilarang oleh junta militer.34 Para pengunjuk rasa memberinya makna baru, menghubungkannya dengan semboyan Revolusi Prancis: “liberté, égalité, fraternité” (kebebasan, kesetaraan, persaudaraan).37 Simbol ini menyebar ke Hong Kong dan Myanmar, menjadi lambang solidaritas regional dalam Aliansi Teh Susu (Milk Tea Alliance).34

Analisis: DNA yang Sama dari Protes Budaya Pop

Studi kasus ini mengungkapkan karakteristik umum yang dimiliki oleh gerakan protes berbasis budaya pop. Pertama, resonansi naratif: semua simbol berasal dari cerita tentang perjuangan melawan pemerintah yang kuat, tidak adil, dan distopian. Kedua, kesederhanaan visual: topeng atau gestur tangan yang sederhana mudah ditiru dan sangat efektif secara visual di media. Ketiga, bahasa global: simbol-simbol ini melampaui batas bahasa lokal, membuat protes di satu negara dapat dipahami dan mendapat simpati dari audiens global. Keempat, pembangunan komunitas: simbol ini memanfaatkan komunitas penggemar yang sudah ada sebagai basis mobilisasi dan identitas budaya bersama.

Penggunaan simbol-simbol budaya pop ini menandakan pergeseran strategis dalam aktivisme. Ini adalah bentuk penggunaan “kekuatan lunak” (soft power) untuk menginternasionalkan keluhan lokal dan menciptakan solidaritas global yang terdesentralisasi. Ketika seorang pengunjuk rasa di Jakarta mengibarkan bendera One Piece, mereka tidak hanya berbicara kepada pemerintahnya sendiri. Mereka berbicara kepada komunitas global jutaan penggemar One Piece yang segera memahami konteks simbolisnya.6 Hal ini menciptakan perhatian media internasional dan solidaritas daring yang mungkin tidak akan tercapai oleh protes dengan simbol lokal.1 Simbol tersebut datang dengan narasi kepahlawanan dan keadilan yang sudah melekat, sehingga para pengunjuk rasa “meminjam” citra positif global dari karya fiksi tersebut untuk perjuangan mereka, membuatnya lebih sulit bagi pemerintah untuk mendemonisasi mereka di panggung dunia.

Kesimpulan: Pesan Tak Terucap di Balik Bendera

Pada akhirnya, kontroversi pengibaran bendera One Piece di Indonesia bukanlah tentang bajak laut, anime, atau rasa tidak hormat terhadap bangsa. Ia adalah cerminan dari isu-isu yang lebih dalam: keretakan komunikasi antara pemerintah dan warganya, serta evolusi bahasa protes di era digital.

Membaca Arah Angin Politik

Fenomena ini adalah ekspresi berlapis dari ketidakpuasan publik, terutama di kalangan anak muda yang merasa suara mereka tidak didengar.38 Respons pemerintah yang terpecah dan terkadang berlebihan justru secara tidak sengaja mengonfirmasi kritik yang dilontarkan para pengunjuk rasa tentang negara yang mereka anggap kaku dan represif. Kontroversi ini sejatinya bukan tentang bendera itu sendiri, tetapi tentang apa yang diwakilinya: sebuah wadah besar berisi frustrasi publik yang mencari saluran untuk diungkapkan.

Kekuatan Abadi Sebuah Simbol

Pemerintah mungkin bisa mencoba mengatur pengibaran bendera fisik, tetapi mereka tidak dapat menghapus makna simbolis atau membatasi diskursus daring yang telah dipicunya. Percakapan telah bergeser. Fenomena ini seharusnya menjadi kesempatan krusial bagi pemerintah, bukan untuk menekan, tetapi untuk mendengarkan.21 Bendera-bendera ini adalah gejala, bukan penyakitnya. Isu-isu inti mengenai tata kelola pemerintahan, keadilan, dan pemerataan ekonomi akan tetap ada jauh setelah perayaan 17 Agustus usai.

Masa Depan Protes

Pengibaran bendera One Piece menjadi contoh penting dari aktivisme abad ke-21 di Indonesia. Ini menunjukkan bagaimana budaya pop global telah menyediakan perangkat baru yang kuat dan relatif aman bagi warga negara untuk meminta pertanggungjawaban dari kekuasaan. Pertanyaan sesungguhnya untuk masa depan bukanlah apakah akan ada lebih banyak bendera yang muncul, tetapi apakah pemerintah akan belajar untuk memahami bahasa baru yang digunakan oleh rakyatnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *